EKONOMI
KOPERASI DAN UKM
(Permasalahan Dari Pedagang Kaki Lima)
Oleh:
Kelompok 6
Jurusan
Ekonomi Pembangunan
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Negeri Makassar
2012
Kelompok
I:
1. Junnaedy
Muis 1196140001
2. Nasrun
Rusli 1196140002
3. Sitti
Masyitah 1196140006
4. Hasbullah 1196140009
5.
Ismayani 1196140010
6. Sri
Mafirawati 1196140048
7. Muhammad
Ikhsan 1196140049
8. Aco
Saparuddin 1196140050
9. Dita
Pradipta 1196140052
10. Asri
Wahyudi 1196140053
KATA
PENGANTAR
Bissmillahirahmanirahim
Assalamu
alaikum warahmatullahi wabarakatu
Rasa syukur patut kami panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T
yang telah mengijinkan dan memberi nikmat kemudahan kepada kami dalam menyusun
dan menulis makalah Ekonomi Koperasi dan UKM yang berjudul Permasalahan Dari
Pedagang Kaki Lima.
Hal yang paling mendasar yang mendorong kami menyusun
makalah ini adalah tugas dari mata kuliah Ekonomi Koperasi dan UKM , untuk
mencapai nilai yang memenuhi syarat perkuliahan.
Pada kesempatan ini kami semua mengucapkan banyak
terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan dosen dan semua pihak sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik
Andai ada kekurangan dalam makalah ini kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakaatuh
Makassar , Mei 2012
Kelompok penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR......................................................... i
DAFTAR
ISI....................................................................... ii
BAB
I.................................................................................. 1
PENDAHULUAN.............................................................. 1
a. Latar
Belakang Masalah.................................................. 1
b. Rumusan
Masalah............................................................. 2
c. Tujuan
Penulisan................................................................ 2
d. Manfaat
Penulisan............................................................. 3
BAB
II ................................................................................. 4
PEMBAHASAN................................................................. 4
a. Masalah
utama yang dihadapi oleh Pedagang
kaki lima di kota Makassar ...................................................4
b. Tempat
Pedagang Kaki Lima yang merajalela
di kota Makassar................................................................... 5
c. Masalah
yang di hadapi oleh pemerintah
kota Makasssar..................................................................... 6
d. Kebijakan
yang di keluarkan oleh pemerintah
kota Makassar................................................................. 6
BAB
III............................................................................... 10
PENUTUP........................................................................ 10
a. Kesimpulan
..................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA....................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
1) Latar
Belakang Masalah
Pedagang
Kaki Lima adalah salah satu permasalahan perekonomian yang dialami sebagian
kecil masyarakat umunya di Indonesia,
membuat sebagian masyarakat Indonesia memilih salah satu alternatif usaha di
sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya melihat kelangsungan hidup yang makin hari makin meningkat harganya
terutama harga sembako. Kehadiran Pedagang Kaki Lima yang menempati
pingi-pinggiran kota di pesisir jalan dan di pesisir pasar yang sangat
menganggu ketertiban lalu lintas dan gangguan pada prasarana pejalan kaki, dan
kemacetan kota. Sehingga , pemerintah mengalami kesulitan dalam penataan dan
pemberdayaan guna mewujudkan kota yang bersih dan aman dari sekeliling
masyarakat . akan tetapi Pedagang Kaki Lima sebagai bagian dari usaha sektor
informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja untuk
masyarakat yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai karena
rendahnya tingkat pendidikan yang menjadi masalah sehingga terbukanya dan
terbentukya yang namanya PEDAGANG KAKI LIMA.
Kebijakan
publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini
menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang
bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model
pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan
kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan
tidak bersifat satu arah.
Masalah
kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh
masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan masalah
baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah
dalam memberdayakan para pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang
merujuk pada ketertiban dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi
kehadiran para pedagang kaki lima.
2) Rumusan
Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
a. Bagaimana
persoalan Pedagang Kaki Lima yang ada di kota Makassar ?
b. Bagaimana
kebijakan yang di keluarkan pemerintah untuk mengurangi masalah dari pedagang
kaki lima ?
c. Apakah solusi yang tepat untuk masalah dari
Pedagang Kaki Lima?
3) Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas. Tujuan penulisan makalah ini sebagai
berikut :
a. Untuk
mengetahui gambaran masalah yang menyangkut dengan Pedagang Kaki Lima yang ada
di kota Makassar
b. Untuk
mengetahui kebijakan apa saja yang di terapkan oleh pemerintah untuk menangani
pedagang kaki lima
c. Untuk
mencari solusi terkait permasalahan Pedagang Kaki Lima
4) Manfaat Penulisan
Manfaat
yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini mencakup beberapa diantaranya
sebagai berikut :
a. Memberikan
pembelajaran bagi pedagang kaki lima agar tidak mengganggu pejalan kaki dan
sebagainya.
b. Memberikan
masukan bagi pemerintah kota Makassar dalam upaya mengatasi persoalan pedagang
kaki lima
c. Memberikan
wawasan dan masukan bagi para pedagang kaki lima dalam mengatasi masalah
pedagang kaki lima.
BAB II
PEMBAHASAN
Berawal dari pedagang keliling yang
memasarkan dagangannya ke berbagai tempat yang ramai, di sanalah awal sebutan
“Pedagang Kaki Lima” atau PKL. Biasanya, para pedagang yang berpindah-pindah
itu, membawa kain besar segi empat ke mana ia pergi. Setelah menemukan tempat
yang dianggap layak untuk menjual barang dagangannya, kain besar itu dikembangkan.
Ke empat sudutnya diikat dan dihubungkan dengan tongkat sebagai tiang dan di
bagian tengahnya ditopang dengan galah bambu. Jadilah empat sudut dan satu
tiang penyangga menjadi lima. Sehingga, pedagang dan pembeli berlindung di
bawah tenda berkaki lima. Lama-lama, popularlah sebutan kepada pedagang tidak
tetap yang berada di tanah lapang atau pinggir jalan itu sebagai pedagang kaki
lima.
Konflik antara
pedagang kaki lima dan pemerintah kota Makassar terjadi karena salah satu pihak
memiliki kekuasaan dan perbedaan kepentingan masing-masing ada yang ingin
menjalani hidupnya dengan usaha kecilnya sementara pemerintah kota Makassar
juga ingin menertibkannya agar kota Makassar aman dan bersih dari lingkungan.
Ini adalah sebagian
dari pemersalahan dari pemerintah kota Makassar yang ingin di selesaikan dan di
tertibkan di antaranya :
1) Masalah
utama yang dihadapi oleh Pedagang kaki lima di kota Makassar
Masalah yang utama
itu dari yang kami survey di setiap pedagang kaki lima di pinggiran SENTRAL di
Makassar yaitu Penggusuran Para PKL liar yang tidak memiliki TDU(Tanda
DaftarUsaha) mereka biasanya akan di gusur dengan peringatan yang di berikan
sampai di laksanakan penggusuran paksa padahal Pedagang kaki lima merupakan
salah satu solusi akan masalah tingginya angka pengangguran dan sedikitnya
lapangan kerja bagi masyarakat berpendidikan rendah seperti mereka. Pemerintah
dalam hal ini tidak dapat menyediakan lahan pengganti bagi mereka untuk
melanjutkan usaha mereka , jika pun ada pemerintah menyediakan lahan-lahan yang
letaknya kurang strategis yang secara pasti menurunkan dan mematikan pendapatan
yang mereka dapatkan dan akhirnya mereka harus gulung tikar dan menjadi
pengangguran yang semakin menambah permasalahan di Indonesia. Pemerintah harus
mencari cara dan tempat yang baik untuk mereka berdagang ditengah modal mereka
yang kecil agar di sisi lain semua para pedagang kaki lima tidak hilang
lapangan kerjanya dan bias melanjutkan kelangsungan hidupnya.
2) Tempat Pedagang Kaki Lima yang merajalela di
kota Makassar
Tempat pedagang kaki lima bagi masyarakat makassar
sangat penting sebagai penyediaan barang – barang dagangan yang dibutuhkan oleh
masyarakat Makassar di antaranya ada 6 tempat pasar yang ada di Makassar yang
sangat banyak di penuhi dengan pedagang kaki lima yaitu pasar Butung,
pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar
Lette,dan pasar Sentral. Pedangan kaki lima sangat mempengaruhi pola
pasar dan sosial di Makassar . Dalam bidang perekonomian pedagang kaki lima
hanya berpengaruh sebagai produsen yang penting bagi masyarakat makassar mengingat
akan banyaknya masyarakat menengah maupun menengah ke bawah. Mereka cenderung
lebih memilih membeli pada pedagang kaki lima daripada membeli di supermarket
yang sudah merajalela di kota Makassar pada saat ini , mall atau grosir maupun
indogrosir yang banyak tersebar di kota Makassar , dikarenakan harga yang
mereka tawarkan lebih murah di bandingkan denga harga yang ada di mall.
Pedagang kaki lima telah menjadi mata pencaharian utama sebagian warga Makassar
.
3)
Masalah yang di hadapi oleh pemerintah kota
Makasssar
Persoalan Pemerintah
Kota Makassar dalam menangani PKL di makassar yakni penertiban dan penataan
PKL. Sulitnya penertiban dan penangananyang dilakukan karena kurangnya
kesadaran PKL terhadap aturan dan terganggunya fasilitas umum karena adanya
aktivitas dagang mereka. Satpol PP sebagai eksekutor dalam Penertiban dan
Penanganan mengaku sangat lelah dalam penertiban secara terus-menerus, yang
dilakukan di daerah tersebut. Penertiban dilakukan dengan melalui pemberitahuan
kepada PKL terhadap lokasi yang mereka tempati sebagai lokasi sarana umum.
Penanganan dengan cara pemberian surat teguran dari Pemkot kepada kecamatan /
kelurahan dimana PKL tersebut menempati lokasi dagang mereka namun penaganan
dan penertiban tersebut kurang dihiraukan sehingga Pemkot melalui satpol PP pemda
Makassar melakukan penggusuran secara tegas."Perencanaan yang dibuat harus
benar-benar terbingkai dalam sistem penyelenggaraan pemerintah yang baik dan
bertanggung jawab sebagaimana tujuan dari prinsip otonomi daerah yang tidak
melepaskan hak-hak masyarakat lainya (Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang
Pemeritah Daerah),",Kalau kita melihat, UU No 22 Tahun 2009 tentang
Lalulintas dan Angkutan Jalan pada pasal 131 ayat (1) dijelaskan pejalan kaki
berhak atas ketersediaan pendukung berupa trotoar, tempat penyebrangan dan fasilitas
lain. Selain itu, setiap jalan yang digunakan untuk lalulintas umum wajib
dilengkapi perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan
penyandang cacat.
4)
Kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah
kota Makassar
Implementasi kebijakan
pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan proporsional.
Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini relokasi,
srelokasi tersebut adalah pemerintah berupaya mencari win-win solution atas
permasalahan PKL.
Dengan dikeluarkannya
kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan
bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi
daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi
aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada kios-kios
yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga
dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat menarik restribusi secara dari
para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya akan semakin menambah
Pendapatan Asli Daerah.
Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan
yang isinya antara lain :
1. Pedagang
Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2. Kios
kios tersebut disediakan secara gratis.
3. Setiap
kios setiap bulan ditarik retribusi
4. Bagi
Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini
dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian,
Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang
terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios¬-kios yang
disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain
itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran,
bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah
melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah Kota
merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut,
beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan
berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini
tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini
yaitu;
Pertama, dalam
membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen
tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak
diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim
yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh
Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala
Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
Kedua, adanya
perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah
dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik
diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali
menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang
terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu
antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap
Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan
relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi
tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota
atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut
mengakibatkan ketidakjelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah,
sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
Dalam perencanaan
tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan
lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan
forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan
akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk
mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi
masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi
sia-sia belaka.
Dalam keadaan Seperti
ini sebaiknya Pemerintah melakukan pembinaan mental, yaitu bagaimana mengelola
PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan hanya mengelola tempat
tetapi juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di
pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran
lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma yang menyengat hidung juga
menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan
ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan
mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value system atau
nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap PKL
perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.
Pembinaan mental
dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yang berkenaan dengan
masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansa religius baik melalui
media tatap langsung, selebaran, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
1) Kesimpulan
Sektor
informal sebagai sektor alternatif bagi para migran cukup memberikan sumbangan
bagi pembangunan perkotaan. Selain membuka kesempatan kerja, sektor informal
juga dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat kota. Namun, pertumbuhan
sektor informal yang pesat tanpa mendapat penanganan yang baik dan terencana
akan menimbulkan persoalan bagi kota. Untuk itu, pemerintah kota harus jeli dalam
menangani masalah sektor informal itu. Sehingga, sektor informal dapat tumbuh
dengan subur tanpa mengganggu kepentingan umum, terutama tidak mengganggu
keamanan, ketertiban dan keindahan kota.
DAFTAR
PUSTAKA