Sudah 40 tahun Jacques Beres, seorang dokter bedah Perancis, beroperasi di berbagai kawasan perang, namun di kondisi di Suriah merupakan salah satu satu yang paling mengerikan yang pernah dilihatnya.
Beres “menyelundupkan diri” ke Homs, kota yang digempur pasukan pemerintah Suriah, selama dua minggu Februari lalu. Di kota itu dia mendirikan rumah sakit darurat di sebuah rumah di mana dia mengoperasi 89 orang dalam 12 hari.
Sebagian besar adalah para lanjut usia dan anak-anak. Dia berhasil menyelamatkan sebagian besar pasiennya, namun sembilan orang meninggal di meja operasi.
Dalam sebuah pertemuan para aktivis hak asasi manusia di Jenewa, Swiss, Selasa (13/3/2012), dokter berusia 71 tahun itu, merupakan satu-satunya dokter Barat yang berhasil masuk Homs. Dalam pertemuan itu dia mengisahkan pertumpahan darah dan kondisi mengerikan yang disaksikannya di kota itu.
“Seperti neraka,” kata Beres, yang juga salah satu pendiri organisasi Doctors Without Borders dan Doctors of the World. Beres sendiri pernah bekerja di sejumlah wilayah perang seperti Vietnam, Rwanda, dan Irak.
“Yang terjadi adalah pembunuhan massal. Sangat tidak adil. Tidak bisa dibenarkan,” tegasnya.
Beres berangkat ke Suriah atas permintaan dua kelompok, France-Syrie Democracy dan Union of Muslim Associations in France. Dia masuk Suriah dari Lebanon secara ilegal dan mendirikan meja operasi di sebuah rumah kosong hanya dengan tiga tempat tidur.
Kata warga Paris, Perancis itu, tantangan terbesarnya adalah hal-hal mendasar sperti langkanya listrik dan mendapatkan ruang yang cukup untuk tandu.
Beres mengatakan, warga Homs, yang merupakan jantung perlawanan terhadap rezim Presiden Bashar al-Assad, hidup dalam keputusasaan meskipun mereka menyampaikan terima kasih pada para wartawan yang mengabarkan pada dunia tentang yang sedang mereka hadapi.
“Mereka bilang, memang baik kalian memikirkan kami, tetapi mereka bilang ‘itu tidak memberi kami makanan, obat, ataupun senjata,” kata Beres menirukan warga Homs di KTT Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Jenewa.
Pemberontakan di Suriah dimulai pada Maret 2011. Berawal dari unjuk rasa damai di provinsi-provinsi yang miskin di negara itu. Ketika aparat keamanan menindas para pengunjuk rasa hingga menewaskan ribuan orang, protes pun berkembang dan memanas hingga memicu pemberontakan bersenjata.
Badan urusan pengungsi PBB mengatakan 230.000 warga Suriah mengungsi sejak perlawanan terhadap rezim Assad dimulai tahun lalu. Menurut PBB, lebih dari 7.500 orang terbunuh dalam 12 bulan terakhir. Kelompok-kelompok aktivis mengatakan, jumlah korban tewas bahkan sudah melewati angka 8.000.
Hadeel Kouki, aktivis Suriah berusia 20 tahun, mengatakan, dia ditahan selama 52 hari setelah dinas intelijen Suriah memeriksanya. Perempuan muda itu mengaku membagikan selebaran berisi anjuran pada teman-teman kampusnya untuk berdemonstrasi.
“Ada sekitar 10.000 orang tewas hingga saat ini dan pembunuhan itu terus berlanjut. Dalam catatan kami 100 orang tewas setiap hari. Banyak di antaranya anak-anak. Mereka tewas di rumah,” tutur mahasiswi sastra Inggris dan hukum itu.
Dalam pertemuan di Jenewa itu, Kouki menceritakan pengalaman pertamanya ditangkap. Ketika itu dia dikurung di penjara selama 40 hari dengan “kondisi mengerikan”. Setelah itu dia dua kali lagi ditahan. “Aparat menyiksa saya dengan listrik dan memukulinya di penjara,” ujarnya.
Dia memang dibebaskan tetapi dilarang kembali universitas di Aleppo. Kouki kini tinggal di Mesir dan terlibat dalam aktivitas dunia maya melawan Presiden Bashar al Assad.
Rezim Assad selalu mengatakan, bahwa pasukannya memerangi teroris asing dan geng-geng kriminal. Assad juga membantah yang sedang terjadi di negaranya adalah revolusi seperti yang dialami Libya, Mesir, atau Tunisia.
Kata Kouki, tidak ada pejuang asing di Suriah. “Saya bisa katakan bahwa hal itu tidak benar. Tidak ada orang asing, tidak ada teroris. Itu propaganda pemerintah,” tegasnya.